Pada tahun 2025, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia diperkirakan akan mengalami tekanan berat karena harus menanggung beban program-program mega dari masa pemerintahan Jokowi serta janji kampanye dari Presiden terpilih Probowo Subianto.
Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudistira Adhinegara, pengelolaan defisit fiskal tahun depan harus dilakukan dengan sangat ketat. Sejumlah proyek besar yang ditinggalkan Jokowi harus tetap berlanjut, sementara program-program baru dari Prabowo juga harus dipertimbangkan.
Namun, pelaksanaan semua program dalam satu tahun pertama mungkin tidak realistis karena biaya yang dibutuhkan untuk program seperti Infrastruktur Kawasan Strategis Nasional (IKN), Jalan tol, dan elektrifikasi sangat besat. Bhima menyarankan agar program makan siang gratis yang mahal sebaiknya diprioritaskan di daerah tertinggal terlebih dahulu.
Manajemen fiskal yang disiplin penting untuk mencegah melebarnya defisit APBN pada 2025. Jika defisit bertambah besat, penerbitan utang negara juga akan meningkat, membebani APBN di tahun-tahun berikutnya, terutama mengingat utang jatuh tempo senilai Rp 800 triliun pada 2025.
Bhima juga mengingatkan bahwa penerbitan surat utang valuta asing tidak mudah mengingat ketidakpastian ekonomi global saat ini. Jika penertiban utang tidak optimal, alternatif lain adalah mengandalkan pendaftaran pajak, meski hal ini bisa memberatkan masyarakat kelas menengah dan mengurangi konsumsi, yang pada gilirannya akan memperlambatkan pertumbuhan ekonomi.
Opsi terbaik yang disarankan Bhima adalah mengelola anggaran belanja dengan efisien, termasuk rasionalisasi belanja kementrian/lembaga dan mendahulukan program yang benar-benar diperlukan. Hal ini lebi penting daripada memaksakan semua program dengan anggaran besar tanpa mempertimbangkan kondisi fiskal ke depan.
Defisit RAPBN 2025 diperkirakan mencapai 2,45% hingga 2,82 dari PDB, lebih tinggi dibandingkan dengan defisit tahun 2024 yang sebesar 2,29% dari PDB. Penyebabnya adalah rencana belanja yang lebih besat, mencapai 14,59% -15,18% dari PDB, sementara penerimaan negara tidak dapat mengimbangi sepenuhnya.
Kekhawatiran muncul karena jika ketidakpastian ekonomi global terus berlanjut, pemerintah di masa depan mungkin tidak memiliki fleksibilitas yang cukup untuk mengatasi masalah tersebut.