Jakarta — “Jadi salah satu orang terkaya di Indonesia, bangga atau takut?” — itulah pertanyaan tajam yang diajukan dalam sebuah video pendek Kompas yang mengisahkan dinamika dan beban psikologis di balik status kekayaan tinggi. Sosok yang dibicarakan dalam video tersebut adalah Sandiaga Salahuddin Uno, pengusaha dan politisi yang pernah tercatat sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia.

Siapa Sandiaga Uno?

Sandiaga Uno dikenal luas sebagai pengusaha dan tokoh politik. Ia pernah menjabat sebagai calon wakil presiden dan sempat menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta. Selain itu, sebelum terjun ke dunia politik penuh, Sandiaga membangun reputasi sebagai investor dan pebisnis sukses. Kekayaannya yang besar pernah mencuat dalam daftar orang terkaya versi media internasional — sebuah prestise besar, namun bukan tanpa konsekuensi mental dan emosional.

Antara Kebanggaan dan Ketakutan

Dalam video Kompas, penonton diajak merenungkan perasaan ambivalen yang mungkin dirasakan oleh mereka yang berada di puncak kekayaan: di satu sisi, ada kebanggaan karena pencapaian dan status sosial; di sisi lain, ada ketakutan – takut akan harapan publik, tekanan sosial, dan mungkin juga rasa bersalah atau tanggung jawab besar.

Ini bukan sekadar pertanyaan retoris. Menjadi sangat kaya bukan berarti hidup sepenuhnya bebas dari kecemasan. Banyak taipan dan miliarder di berbagai negara melaporkan bahwa kekayaan besar membawa jenis kecemasan tersendiri: kekhawatiran soal citra publik, dampak sosial, dan bagaimana kekayaan tersebut bisa memperburuk ketimpangan di masyarakat.

Konteks Kekayaan di Indonesia

Jumlah orang sangat kaya di Indonesia terus bertambah, dan posisi mereka makin mencolok. Misalnya, data per Juli 2025 menunjukkan beberapa nama besar di jajaran orang terkaya di Indonesia menurut Forbes: Low Tuck Kwong, Budi Hartono, Michael Hartono, dan keluarga Tahir menjadi sorotan utama.
Kekayaan mereka berasal dari berbagai sektor, seperti pertambangan, perbankan, dan industri.
Memiliki kekayaan besar di Indonesia berarti tidak hanya menikmati keuntungan finansial, tetapi juga menghadapi tuntutan sosial dan peran strategis dalam pembangunan ekonomi nasional serta tanggung jawab sosial.

Beban Sosial dan Moral

Menjadi orang kaya di negara dengan ketimpangan ekonomi yang signifikan membawa implikasi moral dan tanggung jawab sosial yang berat. Banyak pihak mengkritik pamer kekayaan — dan tidak sedikit yang menyerukan agar para konglomerat lebih peduli pada kontribusi sosial dan bukan sekadar mengejar profit.
Di sisi lain, ada dorongan agar kekayaan tidak hanya dinikmati sendiri, tetapi diinvestasikan untuk kemajuan bersama — misalnya lewat filantropi atau dukungan pada usaha publik.

Refleksi Pribadi

Status orang kaya bisa jadi merupakan anugerah besar, tetapi bagi sebagian, itu juga bisa menjadi beban mental. Mereka yang berada di puncak kekayaan mungkin terus-menerus berpikir: “Apa yang diharapkan orang dari saya? Bagaimana saya bisa memberi dampak positif?” Rasa takut ini tidak selalu lepas dari kebanggaan — kedua emosi itu bisa hidup berdampingan.

Sementara itu, bagi masyarakat luas, pertanyaan seperti yang diajukan dalam video Kompas menjadi sangat relevan: apakah kita sebagai bangsa cukup mendorong para pemilik kapital untuk menggunakan sebagian kekayaannya demi kepentingan bersama, dan bagaimana cara terbaik agar mereka merasa bertanggung jawab tanpa merasa tersudutkan?

Kesimpulan

Video Kompas “Jadi Salah Satu Orang Terkaya di Indonesia, Bangga atau Takut?” mungkin singkat, tetapi menyiratkan pertanyaan yang sangat dalam tentang identitas, tanggung jawab, dan tekanan sosial yang dialami oleh para miliarder. Di balik angka-angka kekayaan yang mencengangkan, ada manusia dengan kecemasan dan dilema moral.

Kekayaan besar bisa menjadi sumber inspirasi dan kekuatan positif — bila dipandu oleh tanggung jawab sosial dan kesadaran moral. Namun, kekayaan itu juga bisa membawa beban, terutama ketika harapan publik sangat tinggi. Pertanyaan “bangga atau takut” bukan hanya untuk mereka yang sangat kaya, tetapi juga untuk masyarakat yang menyaksikan dan menilai.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *